Senin, 08 November 2010

ALLAH, BAPA YESUS KRISTUS, BAPA FRANSISKUS DAN BAPA KITA SEMUA

ALLAH, BAPA YESUS KRISTUS, BAPA FRANSISKUS DAN BAPA KITA SEMUA

 ALLAH, BAPA YESUS KRISTUS, BAPA FRANSISKUS DAN BAPA KITA SEMUA*) 
Sdr. Frans X. Indrapradja,OFS 
Allah selalu mewahyukan diri-Nya kepada umat manusia, dengan banyak cara: melalui alam ciptaan, melalui para nabi dan lain sebagainya, akhirnya dengan mengutus Yesus Kristus ke tengah-tengah kita umat manusia. Kesemuanya itu adalah karena Dia begitu mengasihi kita. Dalam tulisan ini kita akan membahas relevansi dan tempat kedudukan Yesus Kristus dalam usaha kita menanggapi wahyu Allah yang disebutkan tadi. Kita juga akan melihat contoh yang diberikan oleh Bapak Serafik kita. 
Pada suatu malam seorang Farisi yang bernama Nikodemus datang mengunjungi Yesus. Nikodemus yakin benar bahwa Yesus bukan seorang yang sembarangan, dia yakin bahwa  Yesus adalah seorang utusan Allah. Oleh karena itu dia datang menemui Yesus untuk belajar tentang hal-hal yang menyangkut bidang rohani dari rabi muda Nazaret itu. Dalam dialog  yang terasa intim itu. Yesus sempat berucap: “Karena Allah begitu mengasihi dunia ini,   sehingga Ia telah mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal. Sebab Allah mengutus  Anak-Nya ke dalam dunia bukan untuk menghakimi dunia, melainkan supaya dunia  diselamatkan melalui Dia (Yoh 3:16-17). Dalam Surat kepada orang Ibrani juga tertulis: “Setelah pada zaman dahulu Allah berulang kali dan dengan berbagai cara berbicara kepada nenek moyang kita dengan perantaraan para nabi, maka pada zaman akhir ini Ia berbicara kepada kita dengan perantaraan Anak-Nya yang telah Ia tetapkan sebagai ahli waris segala sesuatu. Melalui Dia Allah telah menjadikan alam semesta ………”  (Ibr 1:1-4). 
Allah dan Yesus Kristus 
Kita semua sudah memaklumi bahwa yang dimaksudkan dengan kata ‘Anak-Nya’ dalam dua buah petikan nas Kitab Suci di atas adalah Yesus Kristus sendiri; Dia yang kita imani         sebagai ‘Sang Sabda yang menjadi daging;, ‘sungguh Allah sungguh manusia’, ‘kepenuhan wahyu Allah’. Bacaan-bacaan Kitab Suci di atas juga dengan jelas menunjukkan relevansi   Yesus Kristus dalam seluruh ‘sejarah penyelamatan’, malah ‘sejarah penciptaan’. Sehubungan dengan hal itu, baiklah kita merenungkan tulisan Santo Paulus tentang ‘Keutamaan Kristus’ (Kol 1:15-23). 
‘Iman’ sesungguhnya adalah tanggapan kita terhadap sapaan kasih Allah atau pemberian diri Allah sendiri yang kita sebut ‘wahyu’. Dari bacaan-bacaan Kitab Suci di atas kita dapat menarik kesimpulan awal, bahwa ‘iman yang benar’ adalah kalau melalui Yesus Kristus sebagai ‘Pengantara’ kita. Memang tidak mudah untuk memungkiri relevansi Yesus Kristus dalam segala sesuatu yang menyangkut Allah, karena “…… Ia sanggup juga menyelamatkan dengan sempurna semua orang yang melalui Dia datang kepada Allah. Sebab Ia hidup senantiasa untuk menjadi Pengantara mereka” (Ibr 7:25). 
Yesus Kristus dan pemuridan 
Sekarang sudah sekitar dua ribu tahun berselang sejak Yesus datang ke dunia. Yesus  pernah menyatakan diri-Nya kepada Tomas murid-Nya: “Akulah jalan dan kebenaran dan hidup. Tidak seorang pun yang datang kepada Bapa kalau tidak melalui Aku. Sekiranya kamu mengenal Aku, pasti kamu juga mengenal Bapa-Ku …… (Yoh 14:6-7a). Kita semua adalah murid Yesus Kristus. Dengan demikian pernyataan-Nya itu dimaksudkan untuk kita juga. Setelah kebangkitan Yesus Kristus dan diangkat-Nya ke surga, Dia mengutus Roh Kudus yang memang telah dijanjikan oleh-Nya. Roh Kudus inilah yang memberikan inspirasi dan memberdayakan orang-orang untuk mengikuti sang ‘Jalan’, membimbing mereka kepada sang ‘Kebenaran’ dan kepada sang ‘Kehidupan’. Artinya Roh Kudus inilah yang memberikan inspirasi dan memberdayakan kita untuk menjadi murid-murid Yesus yang baik. Memang, ‘pemuridan’ adalah persyaratan utama untuk dapat bertemu dengan Bapa. Tanpa ‘pemuridan’, tanpa mengikuti jejak Kristus sebagai murid-murid, tidak ada akses kepada Bapa surgawi. 
Sayangnya tidak setiap orang yakin akan perlunya ‘pemuridan’ ini. Kita semua hidup dalam masyarakat plural, baik dari sudut agama atau iman-kepercayaan, latar belakang budaya   dan lain sebagainya; belum lagi adanya pelbagai pandangan, atau katakanlah falsafah hidup sekular yang merajalela dalam masyarakat. Begitu banyaknya pandangan yang berbeda-beda itu menghalangi kita untuk menguji dan memeriksa motif-motif dasar dari pilihan hidup kita, padahal menguji dan memeriksa motif-motif dasar dari pilihan hidup kita merupakan tantangan yang luar biasa. Tantangan ini harus kita tanggapi. Motif-motif ini berada dalam kedalaman diri kita masing-masing dan untuk menemukan motif-motif tersebut diperlukan upaya pencarian yang jujur dan jelas akan memakan waktu. Tiga motif utama adalah: ‘hasrat akan kekayaan’, ‘hasrat akan kekuasaan’ dan ‘hasrat akan kehormatan’. Sebelum karya-Nya di masyarakat Yesus juga dicobai dalam tiga area ini: Dia dicobai untuk mengubah batu menjadi roti; Dia dicobai untuk menunjukkan kuasa-Nya yang ajaib dengan menjatuhkan diri dari puncak Bait Allah; Dia juga dicobai untuk menerima pemberian semua kerajaan dunia dengan kemegahannya, dengan syarat Dia sujud menyembah Iblis. 
Pencobaan-pencobaan dari Iblis masih aktual sekarang 
Masyarakat modern juga diserang oleh Iblis dengan pencobaan-pencobaan yang serupa dan kita adalah bagian dari masyarakat itu. Pertama-tama marilah kita soroti ‘kekayaan dan pemilikan’. Manusia hidup dengan hasrat (yang tidak akan pernah dapat secara penuh dipuaskan) untuk menumpuk atau menimbun harta kekayaan. Alam ciptaan dieksploatir oleh manusia tanpa malu dan tanpa rasa bersalah sama sekali, seperti halnya penebangan hutan. Limbah industri yang berdampak negatif atas masyarakat lokal sering tidak digubris oleh para pengusaha selama mereka masih dapat berpatpat-gulipat dengan pihak yang berkuasa, kesemuanya demi penimbunan harta kekayaan. Manusia mencoba untuk mengambil alih dari Allah dan menciptakan ‘dunia impian’ mereka sendiri. Hal ini juga didorong oelh pelbagai kemajuan di bidang ekonomi dan teknologi. 
‘Hasrat akan kekuasaan’ juga tidak boleh diremehkan dalam dunia modern dewasa ini. Kehausan akan kuasa membuat orang yang satu bermusuhan dengan orang yang lain; membuat suami berkelahi dengan istrinya, yang malah dapat mengakibatkan rumah tangga mereka menjadi berantakan; anak-anak melawan orang tua mereka. Baca saja pelbagai surat kabar, majalah atau tabloid; dari itu semua kita dapat melihat adanya pertarungan kekuasaan terus-menerus, baik di bidang sosial, politik maupun ekonomi yang sedang berlangsung di negara kita ini dan juga di dunia internasional. Demikian pula halnya kalau kita memirsa televisi atau mendengarkan radio. Pada setiap tingkat masyarakat orang-orang terlibat dalam ‘power play’, mereka mencoba untuk saling menjatuhkan pihak lawan demi prestise dan gengsi. 
Memang banyak orang yang ‘gila hormat dan senang dipuji-puji oleh orang lain’. Ada orang yang merasa dihormati untuk dedikasinya kepada standar moral yang tinggi;  hal ini   sah-sah saja apabila yang dikejar oleh orang itu adalah demi kebenaran. Ada pula orang-orang yang berjuang mati-matian untuk menjadi top dalam bidang olah raga, top dalam petualangan pribadi, top dalam karir profesional, semuanya dipacu oleh ‘sorak sorai’ dan puji-pujian dari teman-teman dan para ‘fans’ atau pengagum lainnya. Pengejaran kehormatan duniawi yang mementingkan diri sedemikian melemahkan dan merusak ketulusan pencarian ‘Kerajaan Allah dan kebenarannya’ (Mat 6:33). 
Menyembah Allah dalam roh dan kebenaran 
Dalam Injil (Mat 4:1-11 dan Luk 4:1-13) Yesus memberikan contoh kepada kita semua bagaimana caranya menolak pelbagai pencobaan dan godaan. Semoga contoh-contoh  Yesus tadi membantu memampukan kita untuk menolak pelbagai pencobaan dan godaan yang digambarkan di atas. 
Kepada perempuan Samaria di dekat sumur Yakub, Yesus berkata: “Allah itu Roh dan siapa saja yang menyembah Dia, harus menyembah-Nya dalam roh dan kebenaran”  (Yoh 4:24). Ingatlah bahwa Yesus Kristus bangkit dan sampai kepada kemuliaan Allah Bapa, hanya lewat kehidupan miskin dan penuh  pelayanan kasih kepada Allah dan sesama, penderitaan sengsara dan kematian-Nya di kayu salib. Kehidupan Yesus di bumi ini mengungkapkan suatu penyembahan kepada Bapa ‘dalam roh dan kebenaran’ dalam arti yang sesungguh-sungguhnya. 
Yesus mengundang kita semua untuk mengikuti contoh-Nya dan menjadi murid-murid-Nya. Para rasul menanggapi undangan (dan sekaligus tantangan) Yesus ini; mereka pun menggabungkan diri dan memperkuat upaya-nya guna membangun sebuah komunitas baru, komunitas yang memilih untuk menyembah Allah ‘dalam roh dan kebenaran’. Sekarang masalahnya adalah bagaimana kita dapat membayangkan suatu kehidupan sebagai murid-murid Yesus dalam sebuah dunia di mana kemajuan di bidang materi, kekuasaan dan nilai-nilai duniawi lainnya diproklamasikan sebagai ‘jalan’ yang harus diikuti agar dapat meraih keberhasilan. Bagaimana caranya kita menyembah Bapa dalam ‘roh dan kebenaran’? 
Contoh yang diberikan oleh Santo Fransiskus Asisi 
Sejarah Gereja menunjukkan begitu banyak contoh yang indah tentang ‘pemuridan’ atau ‘kemuridan’ sedemikian. Dalam kesempatan ini baiklah kita lihat satu contoh saja, yaitu seorang kudus yang oleh Paus Pius XI dikatakan sebagai ‘orang kudus yang paling menyerupai Kristus’, yaitu Fransiskus dari Asisi. Kehidupan Fransiskus adalah penyembahan Allah ‘dalam roh dan kebenaran’. Dalam tulisannya Fransiskus juga menyinggung hal ini, dengan menggunakan petikan dari Injil (AngTBul XXII, 31 dan Bag I, 18). Bagi Fransiskus kebaikan Bapa surgawi menjadi suatu pengalaman hidup yang dihayati secara lahir dan batin. 
Pertobatan Fransiskus ke dalam hidup Injili mengingatkan kita akan suatu peristiwa, yaitu ketika ayahnya yang tamak harta, Pietro Bernardone menyeret Fransiskus ke hadapan Uskup Guido dari Asisi dengan maksud agar anaknya melepaskan segala harta kekayaan ke dalam tangan sang ayah dan mengembalikan kepadanya segala miliknya. Di hadapan Uskup, Fransiskus segera menanggalkan pakaiannya lalu melemparkan semuanya  ke tanah dan mengembalikannya  kepada ayah kandungnya sendiri. Dengan bertelanjang bulat dia berkata kepada ayahnya itu: “Hingga sekarang di dunia ini ayah kusebut bapak, tetapi mulai sekarang aku dapat berkat dengan leluasa: Bapa kami yang ada di surga; dan pada-Nya kuletakkan segala hartaku dan segala kepercayaan serta harapanku” (LegMaj II:4; bdk. 1Cel 15). Dalam ‘Riwayat Hidup yang kedua’, dicatat Fransiskus berkata sebagai berikut: “Semenjak saat ini aku akan berkata dengan leluasa; ‘Bapa kami yang ada di surga’, dan bukan lagi Bapak Pietro Bernardone, yang tidak hanya kuberi uangnya kembali – lihat saja! – tetapi juga kukirim kembali segala pakaianku. Demikianlah aku hendak dengan telanjang pergi kepada Tuhan (2Cel 12).[1] Dicopot dari ‘kekayaan’, ‘kekuasaan’ dan ‘kehormatan’, Fransiskus kemudian memasrahkan dirinya ke dalam pelukan Bapa surgawi. Harus diakui, jarang sekali terdengar seorang kudus berbicara dengan begitu mengesankan mengenai ‘martabat kebapaan dari Allah’. 
Sejak saat itu sampai dengan hari terakhir dari hidupnya di dunia ini, Fransiskus terus menerus merayakan ‘martabat kebapaan dari Allah’. Tulisan-tulisannya penuh dengan puja-pujian akan kebaikan Allah: “Engkau baik, seluruhnya baik, paling baik, Tuhan Allah yang hidup dan benar”  (PujAllah 3); “…… karena Engkaulah yang paling baik, ya Tuhan, Engkau baik untuk selamanya, Engkaulah asal segala yang baik, tanpa Engkau tidak ada yang baik satu pun (UrBap 2); “Allah yang Mahakuasa, Mahakudus, Mahatinggi dan Mahaluhur, Engkaulah segala kebaikan, paling baik, seluruhnya baik, hanya Engkau sendiri yang baik; kepada-Mu kami kembalikan segala pujian, segala kemuliaan, segala rahmat, segala kehormatan, segala pujian serta segalanya yang baik”  (PujIb 11). Kita dapat merasakan betapa Fransiskus ‘tergila-gila’ akan kebaikan Allah sehingga tercermin dalam doa-doanya yang penuh kegembiraan sejati di atas. Namun demikian kita dapat saja meyakinkan diri kita bahwa perasaan-perasaan sesungguhnya dari Fransiskus ‘mengatasi’ atau ‘melampaui’ kata-kata yang mampu ditulis atau diucapkannya dalam doa-doanya. Menempatkan dirinya di bawah naungan kebaikan Bapa surgawi, Fransiskus membagi kehangatan dirinya dan kegembiraannya dengan para saudara dina dan dengan orang-orang lain yang ditemui. Pendeknya Fransiskus tidak pernah lelah berbicara mengenai kebaikan Allah dan dia pun tidak dapat memikirkan  nama-nama indah yang cukup untuk diberikan kepada Allah. Bagi Fransiskus hanya Allah-lah yang baik. 
Apa sebenarnya sumber dari keyakinannya yang begitu mendalam ini? Barangkali pengalaman batinnya yang mendalam akan pribadi Allah yang menyelamatkan melalui ‘cinta kasih’. Dia berdoa kepada Allah, berbicara tentang Allah dan melalui tindak tanduknya Fransiskus menunjukkan bahwa dia adalah seorang yang mengakui dirinya dikasihi Allah. Diinspirasikan oleh Surat Yohanes yang pertama bahwa ‘Allah adalah kasih’  (1 Yoh 4:8), dalam menasihati para saudara dina Fransiskus beberapa kali menulis: “Tetapi demi cinta kasih yang adalah Allah …..”  (Lihat AngTBul XVII, 5-6, bdk. Bag I,43; AngTBul XXII, 26, bdk. Bag I, 15). Bagi Fransiskus Allah adalah baik karena Dia berbelas kasih. AngTBul XXIII berisikan ‘Doa dan ucapan syukur’ yang dipenuhi dengan ungkapan-ungkapan Fransiskus mengenai kebaikan Allah yang berlimpah-limpah. Berikut ini adalah petikan dari sebagian isi AngTBul XXIII: “… Dia yang menciptakan kita dan menebus kita serta akan menyelamatkan kita karena belas kasih-Nya semata-mata; Dia sudah dan masih mengerjakan segalanya yang baik untuk kita, …… Maka janganlah kita menginginkan dan  menghendaki hal lainnya, janganlah sesuatu yang lain menyenangkan dan menggembirakan kita kecuali Pencipta dan sempurna, segenap kebaikan, seluruhnya baik, kebaikan yang benar dan tertinggi; Dialah satu-satunya yang baik, penyayang, pemurah, manis dan lembut; Dialah satu-satunya yang kudus, adil, benar, suci dan tulus, satu-satunya yang pemurah, tak bersalah dan murni……”  (AngTBul XXIII, 8-9). ‘Pujian bagi Allah yang Mahaluhur’ (PujAllah) yang dikarang oleh Fransiskus bagi Saudara Leo sesungguhnya merupakan pengungkapan puja-pujian kepadas Allah yang berdasarkan keyakinan seperti dijelaskan tadi, yaitu bahwa Allah adalah baik. Bagian akhir dari doa puja-pujian ini menunjukkan kepada kita gagasan bahwa kebaikan Allah mengalir melalui belas kasih-Nya, yang membuka kesempatan bagi terciptanya kepenuhan hidup ilahi. 
Jadi di atas segalanya, Fransiskus memikirkan Allah sebagai Bapa kita yang baik. Di dalam Injil, Fransiskus menemukan Yesus Kristus yang secara terus-menerus menyapa Allah di surga sebagai Bapa-Nya; Yesus yang melakukan segala hal demi cinta kasih kepada Bapa-Nya. Yesus Kristus ini membuat kita menjadi saudara dan saudari-Nya. Yesus Kristus ini pulalah yang memberikan kepada kita Bapa-Nya sendiri. Beberapa tahun sebelum dia meninggal dunia, Fransiskus mengarang ‘Kidung Saudara Matahari’  dan menyanyikannya guna memuja-muji kebaikan Allah. Dalam kidung itu dia berterima kasih penuh syukur kepada Bapa surgawi atas pemberian-Nya berupa alam ciptaan; dengan penuh suka cita dan kegembiraan dia pun menamakan matahari, bulan dan setiap bagian dari alam raya yang sangat indah ini sebagai saudara dan saudarinya. Spritualitas Fransiskus meninggalkan tanda pada perilakunya sehari-hari. Santo Bonaventura berkata tentang Fransiskus: “Agar hatinya  daripada segala  ciptaan diangkat  kepada cinta kasih Allah, maka ia bersorak-sorai atas segala perbuatan tangan Tuhan; dan lewat pemandangan-pemandangan yang menyenangkan itu hatinya bangkit kepada Dasar dan Sebab yang menghidupkan itu. Dalam hal-hal yang indah dilihatnya Yang Mahaindah. Ia mengikuti sang kekasih di mana-mana lewat jejak-jejak yang ditinggalkan-Nya pada benda-benda; dari semuanya dibuatnya bagi dirinya tangga yang dapat dinaikinya untuk sampai kepada Dia, yang sepenuhnya amat menarik itu. Dengan perasaan bakti yang hingga itu belum terkenal ia mengenyam Sumber segala kebaikan dalam tiap-tiap makhluk bagaikan dalam aliran-aliran. Dan seakan-akan ia mengenali lagu surgawi dalam perpaduan daya-daya serta tingkah-tingkah laku yang dicurahkan Tuhan kepada mereka, maka seperti nabi Daud ia menganjurkan kepada makhluk-makhluk itu dengan ramah-tamah untuk memuji Tuhan” (LegMaj IX, 1). Di sini Santo Bonaventura mau menggambarkan betapa Fransiskus mengetahui bagaimana memandang pencurahan yang unik dari kebaikan Allah dalam masing-masing makhluk. Nah, dalam hal ini ‘Kidung Saudara Matahari’  adalah contoh yang paling baik. Allah yang adalah Bapa, yang tidak lain adalah kebaikan, dan yang dialami sedemikian oleh Fransiskus sendiri secara pribadi; Allah ini membuat dirinya melihat kebaikan yang sama dalam diri saudaranya, kawan atau pun lawan, hewan, pelbagai unsur alam ciptaan, pola-pola cuaca, pengalaman-pengalaman hidup penting seperti penderitaan karena sakit, penganiayaan, pengampunan dan kematian. Karena antara dirinya dan Allah telah terjadi rekonsiliasi, maka Fransiskus pun selalu mengusahakan rekonsiliasi dengan orang-orang lain dan semua unsur alam ciptaan. 
Menjelang akhir hidupnya di dunia, Fransiskus bahkan menambah beberapastanza  pada ‘Kidung Saudara Matahari’ – nya yang berisikan ucapan selamat datangnya kepada ‘Saudari Maut badani’. Pada saat ini pun seakan-akan kita masih dapat mendengar bagaimana Fransiskus yang sudah begitu lemah dan hampir buta total itu, bersama Saudara Angelo dan Leo menyanyikan kidung ini. Meskipun Fransiskus sedang menderita sakit parah, dirinya tetap dipenuhi oleh kegembiraan dan suka cita dalam cinta kasih kepada Penyelamatnya. Seperti Bunda Maria yang berkata, “… jadilah padaku menurut perkataanmu itu”  (Luk 1:38), Fransikus menyerahkan diri sepenuhnya kepada kehendak Allah; dengan demikian dalam penderitaannya dia sudah mengalami kebangkitan. Penyerahan diri secara total kepada Allah inilah yang merupakan alasan mengapa dalam sakit dan deritanya yang berat itu Fransiskus masih sanggup melambungkan puja-pujiannya kepada Allah. Fransiskus memang merupakan seorang bentara Injil yang penuh sukacita, bahkan pada saat-saat menjelang ajalnya sekali pun. Semua ini membuat keseluruhan hidupnya sebagai seuntai madah puijian dan syukur akan kebaikan Bapa surgawi. 
Rahasia kehidupan dan spiritualitas Fransiskus 
Apakah rahasia dari hidup dan spiritualitas Fransiskus? Sebenarnya sederhana saja. Fransiskus tidak mengeksploatir pemberian-pemberian dari kebaikan Allah kepadanya, sebaliknya dia menuntut dirinya untuk mengembalikan pemberian-pemberian itu setelah menggunakan semua itu untuk kebaikan bagi sesama. Dalam dunia yang berkelimpahan dia memilih untuk tetap miskin. Dia tidak mencari-cari kekuasaan, melainkan membawa damai kepada dunia. Dia pun merangkul semua orang sebagai saudara dan saudari dan merasa satu dengan segala sesuatu yang bergerak dan hidup di alam raya. Di tengah-tengah dunia yang kebanyakan orang-orangnya sibuk mengejar-ngejar kehormatan dan prestise, dia tetap menampilkan diri – luar dan dalam – sebagai seorang saudara dina yang mengikuti jejak Kristus dalam kehinaan-Nya dan penderitaan-Nya, sebagai jalan untuk bertemu dengan Bapa surgawi. Hidup Fransiskus adalah sebuah contoh penyembahan Allah ‘dalam roh dan kebenaran’. 
Catatan Penutup  
Santo Fransiskus adalah seorang kudus yang lewat kesaksian hidupnya menunjukkan bahwa ‘martabat kebapaan dari Allah’ dan ‘kebaikan Allah’ dapat diakses oleh manusia dan kemudian mensyeringkannya penuh sukacita dengan orang-orang lain. Sebagai Fransiskan yang nota bene adalah pengikut-pengikut Fransiskus – entah imam, religius non-imam atau awam – , maka  keyakinan kita bahwa ‘Allah adalah baik’, ‘Bapa yang baik’ harus merupakan prinsip fundamental dari spiritualitas kita. Ini adalah alasan pokok bagi segala kegiatan kita: jawaban yang pertama dan terakhir untuk segala permasalahan. Ini adalah gagasan yang harus menjadi penggerak bagi seorang Fransiskan, sebelum gagasan-gagasan lainnya. Allah memiliki segala kebaikan, keindahan, kebahagiaan yang mampu dibayangkan oleh pikiran manusia dan sesungguhnya Dia memiliki segala yang disebutkan itiu lebih, lebih, lebih lagi … artinya ‘tanpa batas’. Kebaikan Allah memang tak terhingga dan … Dia ingin agar kita semua anak-anak-Nya mensyeringkan kebaikan-Nya kepada orang-orang lain juga. Bapak Serafik kita juga memberi nasihat yang perlu kita taati: “Pujilah Dia sebab Ia baik dan luhurkanlah Dia dalam pekerjaanmu”  (SurOr 8). Semoga dengan tekun menghayati hidup Injil Yesus Kristus seturut teladan Santo Fransiskus, kita sungguh menyembah Allah ‘dalam roh  dan kebenaran’. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar